Rabu, 14 Mei 2014

CITES, Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar





Does anyone know about CITES? CITES merupakan akronim dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar yang terancam keberadaannya. CITES merupakan perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union tahun 1963 yang memiliki tujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang dapat mengakibatkan kelestarian spesies-spesies tersebut terancam.

sumber: gatelites.blogspot.com


CITES berfokus pada pemberian perlindungan pada spesies tumbuhan dan satwa liar yang diperdagangkan secara internasional dengan tidak sesuai dengan ketentuan berlaku yang mengancam kepunahan spesies tersebut.

CITES yang berpusat di Jenewa, Swiss beranggotakan 175 negara yang telah melakukan ratifikasi, menerima, dan menyetujui konvensi. Indonesia telah bergabung dengan komunitas CITES tahun 1978 yang disahkan dengan Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999, otoritas keilmuan CITES dipegang oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan otoritas pengelola CITES dipegang oleh Kementerian Kehutanan Indonesia.

Menurut informasi yang berasal dari ksda-bali.go.id, dasar dari terbentuknya konvensi CITES adalah:

  • Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar bagi manusia
  • Meningkatkan  nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia
  • Peran dari masyarakat dan negara diperlukan dalam usaha perlindungan tumbuhan dan satwa liar
  • Kebutuhan kerja sama internasional semakin mendesak untuk melindungi jenis tumbuhan dan satwa liar dari eksploitasi melalui kontrol perdagangan internasional 
Masih dari sumber yang sama, substansi kesepakatan CITES antara lain:
  • Ketentuan mengenai jenis spesies, perdagangan internasional, dan tata niaga perizinannya
  • ketentuan terkait pelaksanaan Conference of Parties/CoP
  • Ketentuan tentang perdagangan yang dikecualikan oleh CITES
  • Ketentuan amandemen untuk CITES listed species
Ketentuan pokok CITES yaitu:
  • Pelaksanaan perdagangan internasional melalui sistem permit yang dikeluarkan oleh CITES management authority 
  •  Appendiks I dilarang diperdagangkan, sementara Appendiks II dan III dapat diperdagangkan tetapi dengan kontrol yang ketat
  • Representative negara anggota CITES bertemu secara reguler (2-3 tahun sekali) dalam Conference of The Parties (COP) untuk melakukan review pelaksanaan CITES, prosedur dan amandemen Appendiks CITES
  • Operasional pelaksanaan CITES dikoordinasikan oleh Sekretariat CITES yang bernaung di bawah UNEP
  • Government of Switzerland bertindak sebagai depository for convention (negara penampung)

CITES memuat tiga lampiran (appendix) yang menggolongkan keadaan tumbuhan dan satwa liar pada tingkatan yang terdiri dari :

1. Apendiks I CITES

Appendix I  memuat daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial.
  •  Jumlahnya sekitar 800 spesies yang terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan. 
  • Perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk Appendix I yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal dan hanya diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa, misalnya untuk penelitian, dan penangkaran. 
  • Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran atau budidaya dianggap sebagai spesimen dari Apendiks II dengan beberapa persyaratan. 
  • Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan non-detriment finding berupa bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas.  
  • Setiap perdagangan spesies dalam Apendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang, dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara spesimen tersebut dengan layak. 
  • Di Indonesia Appendix I CITES:
    • Mamalia 37 jenis, Aves 15 jenis, Reptil 9 jenis, Pisces 2 jenis, total 63 jenis satwa dan 23 jenis tumbuhan. Jenis itu misalnya semua jenis penyu (Chelonia mydas/penyu hijau, Dermochelys coreacea/penyu belimbing, Lepidochelys olivacea/penyu lekang, Eretmochelys imbricata/penyu sisik, Carreta carreta/penyu tempayan, Natator depressa/penyu pipih), jalak bali (Leucopsar rothschildi), komodo (Varanus komodoensis), orang utan (Pongo pygmaeus), babirusa (Babyrousa babyrussa), harimau (Panthera tigris), beruang madu (Helarctos malayanus), badak jawa (Rhinoceros sondaicus), tuntong (Batagur baska), arwana kalimantan (Scleropages formosus) dan beberapa jenis yang lain.
Ada beberapa spesies yang masuk dalam Appendix I namun jika spesies tersebut berasal dari negara tertentu akan menjadi Appendix II, Appendix III atau bahkan Non Appendix misalnya buaya muara (Crocodylus porosus) masuk dalam Appendix I kecuali populasi dari Indonesia, Australia dan papua New Guinea termasuk dalam Appendix II.

2. Apendiks II CITES

Appendix II yang memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. 
  • Jumlahnya sekitar 32.500 spesies. Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang didaftar dalam Apendiks I. 
  • Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. 
  • Di Indonesia, yang termasuk dalam Appendix II CITES yaitu :
    • mamalia 96 jenis, Aves 239 jenis, Reptil 27 jenis, Insekta 26 jenis, Bivalvia 7 jenis, Anthozoa 152 jenis, total 546 jenis satwa dan 1002 jenis tumbuhan (dan beberapa jenis yang masuk dalam CoP 13). Satwa yang masuk dalam Appendix II misalnya trenggiling (Manis javanica), serigala (Cuon alpinus), merak hijau (Pavo muticus), gelatik (Padda oryzifora), beo (Gracula religiosa), beberapa jenis kura-kura (Coura spp, Clemys insclupta, Callagur borneoensis, Heosemys depressa, H. grandis, H. leytensis, H. spinosa, Hieremys annandalii, Amyda cartileginea), ular pitas (Pytas mucosus), beberapa ular kobra (Naja atra, N. Kaouthia, N. Naja, N. Sputatrix, Ophiophagus hannah), ular sanca batik (Python reticulatus), kerang raksasa (Tridacnidae spp), beberapa jenis koral, beberapa jenis anggrek (Orchidae) dan banyak lainnya. 
Jenis satwa yang masuk dalam Appendix II Cites dan tidak dilindungi undang-undang yang diperbolehkan untuk diekspor sebanyak 104 spesies. Dari 104 spesies tersebut, yang paling banyak adalah dari jenis anthozoa (koral/karang) yaitu 60 spesies.

3. Apendiks III CITES

Appendix III yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I
  • Jumlah yang masuk dalam Appendix II sekitar 300 spesies. Spesies yang dimasukkan ke dalam Apendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke dalam daftar setelah salah satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies.
  • Spesies tidak terancam punah dan semua negara anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO). Di Indonesia saat ini tidak ada spesies yang masuk dalam Appendix III.

 Menurut Septi (2009) dari website ksda-bali.go.id, kerjasama antar negara dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran tumbuhan dan satwa liar merupakan suatu keuntungan bagi negara dengan sumberdaya alam hayati yang begitu besar seperti Indonesia. Manfaat yang dapat diambil yaitu manfaat dari nilai spesies yang dikonservasi, kesempatan untuk melakukan intervensi dalam pengaturan peredaran TSL, meringankan biaya penegakan hukum, nilai yang terkait dengan kerjasama internasional/bantuan teknis dan finansial. Banyak usaha penyelundupan tumbuhan dan satwa lair dari Indonesia yang bisa digagalkan di negara tujuan karena adanya kerjasama ini sehingga kerugian Indonesia yang ditimbulkan karena perdagangan tumbuhan dan satwa liar illegal dapat semakin ditekan.
Dalam pelaksanaan konvensi CITES di Indonesia, ada beberapa kendala yang masih sangat sering dihadapi, yaitu wilayah Indonesia relatif luas dengan aksesibilitas yang rendah, sehingga peredaran TSL lintas batas negara sulit dikontrol, dukungan para pihak dalam pelaksanaan CITES belum optimal, data potensi TSL sebagai basis NDF belum memadai, sehingga penetapan kuota kurang efektif, serta masih banyaknya upaya penyelundupan TSL dengan berbagai modus operandi yang terus berlangsung. Dalam pelaksaan ketentuan CITES, otoritas CITES adalah dengan melakukan kerja sama dengan bea dan cukai, kepolisian, karantina, kejaksaan, pengadilan dan LSM serta pihak-pihak lain yang terkait.



DAFTAR PUSTAKA
Dit. KKH Departemen Kehutanan, 2006, Handbook CITES, Jakarta
Dit. KKH Departemen Kehutanan, 2008, Handbook CITES, Jakarta
www.gatelites.blogspot.com
www.ksda-bali.go.id




Tidak ada komentar:

Posting Komentar